Fakultas Hukum Universitas Tadulako menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Energi Muda Sulawesi Tengah: Membangun Gerakan Pemuda untuk Keadilan Lingkungan dan Keberlanjutan Alam Sulawesi Tengah” pada Senin, 3 November 2025 bertempat di Swiss-Belhotel Palu. Kegiatan ini digelar sebagai bagian dari refleksi peringatan Hari Sumpah Pemuda, sekaligus ruang dialog bagi generasi muda Sulawesi Tengah untuk merespons isu-isu keadilan ekologis di daerah yang kaya sumber daya alam namun kuat tekanan industrinya.
Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Tadulako menegaskan bahwa Sulawesi Tengah adalah wilayah yang sangat kaya sumber daya alam dan menjadi lokasi berbagai aktivitas pertambangan, namun masyarakat lokal justru lebih banyak merasakan dampak negatifnya. “Sulawesi Tengah ini kaya, punya berbagai macam sumber daya alam, banyak kegiatan pertambangan, tapi masyarakat hanya lebih banyak mendapatkan dampak negatifnya. Sebagai pemuda, disinilah momentum yang harus dipertanyakan: apa peran pemuda, sejauh mana perannya menanggapi isu ini,” ujar Dekan. Seruan tersebut menjadi benang merah yang mengantar jalannya diskusi sepanjang seminar.
Seminar nasional ini menghadirkan tiga narasumber utama:
1. *Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H.* (Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin),
2. *Dr. Muhammad Nur Sangadji, DEA* (Akademisi Bidang Ekologi Manusia Fakultas Pertanian Universitas Tadulako), dan
3. *Azmi Sirajuddin* (Direktur Eksekutif Ekonesia).
Peserta yang hadir berasal dari mahasiswa Fakultas Hukum dan lintas fakultas di Universitas Tadulako, dosen dan peneliti, organisasi kepemudaan, serta pegiat dan aktivis lingkungan di Sulawesi Tengah, dengan total kehadiran sekitar 150 orang.
Dalam sesi pemaparannya, Prof. Abrar Saleng menekankan pentingnya membaca ulang realitas pertambangan di Sulawesi Tengah melalui kacamata teori Utilitarianisme Jeremy Bentham yang menekankan prinsip “kebahagiaan terbesar bagi sebanyak-banyaknya orang”. Menurutnya, secara prinsip, masyarakat Sulawesi Tengah seharusnya menjadi pihak pertama yang merasakan “kebahagiaan” atas adanya kegiatan pertambangan di wilayahnya—baik berupa peningkatan kesejahteraan, kualitas hidup, maupun jaminan keberlanjutan lingkungan. Namun, ironi yang terjadi justru sebaliknya. Dari sinilah Prof. Abrar menyampaikan gagasannya yang kemudian diangkat sebagai judul rilis berita ini: *“Momentum Sumpah Pemuda di Kota Palu akan menginisiasi Gerakan SulTeng menggugat Kebahagiaan atas Kepemilikan Tambang.”*
Prof. Abrar mengajak peserta, khususnya mahasiswa hukum, untuk tidak berhenti pada kritik moral, tetapi terlibat lebih jauh dalam pengawalan kebijakan, advokasi regulasi, dan penguatan posisi masyarakat lokal dalam skema pengelolaan sumber daya alam. Bagi generasi muda, “menggugat kebahagiaan” bukanlah penolakan atas pembangunan, melainkan upaya menagih hak-hak dasar masyarakat agar sesuai dengan amanat konstitusi dan prinsip keadilan sosial.
Melengkapi perspektif hukum pertambangan, *Dr. Muhammad Nur Sangadji, DEA* menguraikan bagaimana aktivitas tambang yang tidak terkendali berdampak pada tatanan ekologi manusia: perubahan lanskap, tekanan terhadap sumber air dan lahan pertanian, hingga kerentanan sosial yang dialami komunitas di sekitar konsesi tambang. Ia menegaskan bahwa pemuda Sulawesi Tengah perlu memahami keterkaitan antara ruang hidup, budaya lokal, dan kebijakan eksploitasi sumber daya alam, agar mampu menawarkan solusi yang tidak hanya teknokratis, tetapi juga manusiawi dan berkeadilan.
Sementara itu, *Azmi Sirajuddin* dari Ekonesia berbagi pengalaman advokasi dan pengorganisasian masyarakat yang terdampak aktivitas pertambangan di Sulawesi Tengah. Ia menyoroti pentingnya membangun jejaring gerakan anak muda lintas kampus, komunitas, dan desa, sehingga isu-isu kerusakan lingkungan tidak hanya berhenti sebagai berita musiman, tetapi berubah menjadi agenda kolektif yang terus diperjuangkan. Pemuda, menurutnya, memegang peran strategis sebagai jembatan antara pengetahuan akademik, suara masyarakat akar rumput, dan ruang-ruang pengambilan kebijakan.
Melalui seminar nasional ini, Fakultas Hukum Universitas Tadulako berharap momentum Sumpah Pemuda tidak sekadar diperingati secara seremonial, tetapi menjadi titik tolak lahirnya “energi muda Sulawesi Tengah” yang kritis, peduli lingkungan, dan berani bersuara atas ketimpangan pengelolaan sumber daya alam. Dengan semangat persatuan dan keadilan ekologis, generasi muda diharapkan mampu menginisiasi gerakan nyata untuk memastikan bahwa kekayaan tambang Sulawesi Tengah benar-benar menghadirkan kebahagiaan dan keberlanjutan bagi masyarakatnya sendiri. (AA)
